ketika doaku dan doamu menjadi satu


3 September 2016.

Iya, hari itu terlampau luar biasa, saat ijab terucap maka Arsy-Nya berguncang yang kemudian menggetarkan bumi dan seisinya. Sebuah ikrar bahwa kini ia lah surga dan nerakaku. Keringat dan air mata terbayarkan, aku berdiri di pelaminan dengan laki-laki yang baru kali ini aku menatapnya dengan jelas, pun mendengar suaranya yang begitu lirih. Perkenalan pertama kami tepat 4 bulan yang lalu, 3 Mei 2016, saat CV sepanjang 6 halaman yang 7 hari 7 malam aku susun dengan begitu rapi hanya berbalas dengan CV 2 halaman. Penjelasanku terlampau panjang, 3 kali lebih panjang daripada yang ia jelaskan. Kadang tersirat, apa niatnya mengenalku tak sebesar antusiasku?

Dengan segala kemudahan dan kelancaran yang Allah berikan, proses kami terus berlanjut. Jika orang bertanya, ” qid pernah ketemu orangnya?” “sering wasapan dan ngobrol dong? kok bisa yakin mau nikah sama dia?” Qadarullah wa ma syaa Alllah, Allah begitu lihai menanamkan keyakinan pada kedua hati kami, hingga pertemuan yang hanya hitungan jari dan obrolan sepatah dua patah kata saat nadzhor bisa membuat kami menjatuhkan pilihan yang sama.

Dulu,
aku lah salah satu orang yang paling anti dengan sebuah proses taaruf, bagiku taaruf ibarat membeli kucing dalam karung. Bagaimana bisa, hidup selamanya dengan seseorang yang seluk beluk dan kesehariannya pun kita tidak tau. Tapi kini,  Allah subhanallahu wa ta’ala baru saja menghapus image buruk itu. Ia mempertemukanku dengannya dengan sebuah proses yang begitu cepat. Dan aku baru saja membuktikan bahwa janji Allah itu pasti. Setiap syariatnya selalu membawa kebahagiaan yang rasanya tidak bisa aku jabarkan satu persatu. Dan Allah mengijabah setiap doa lebih dari yang aku pinta. Kita bertemu untuk kemudian melengkapi satu sama lain, merangkai kembali puzzle kehidupan yang telah sekian lama menunggu pasangannya.
 image2
Kini,
Belum genap 2 minggu pernikahan, tapi rasanya aku sudah jauh lebih mengenalnya dari orang biasanya yang baru kukenal. Sungguh Allah kembali sedang sangat berbaik hati denganku, ia memberi seorang suami yang giat mengingatkanku syariat2 yang tak terlupakan, duduk berdzikir sebelum tidur, menagih setoran bacaan untuk cicilan rumah kami disurga dan  kerap menahan tanganku yg akan melahap makanan krn aku lupa mengucapkan bismillah, ia juga selalu mengawali pujiannya padaku dengan kata-kata “masyaa Allah”
Aku melihat sosok yang belum pernah kutemukan, ada saatnya kita bisa saling cekikikan hanya karena obrolan kecil yang hanya kita berdua saja yang paham, tapi ada saatnya ia mengeluarkan potongan hadist atau bahkan cuplikan sirah nabawiyah untuk menceritakanku sebuah contoh-contoh sahabiyah.
Dan hal yang paling manis adalah saat dia turun tangan menghadapi tumpukan setrikaan dengan berkata ” Rasulullah saja senang membantu pekerjaan rumah istrinya “.
Ya Allah malaikat kah yang engkau turunkan ini?
 image1

Ketika doaku dan doamu menjadi satu,

semoga menjadi salah satu alasan kita dipertemukan.

Semoga menjadi jalan ridho dalam menjalani sisa-sisa kehidupan.

Sebab hanya dengan berdoa lalu meminta penuh harap

aku bisa menembus waktu

dan berjalan di pematang-pematang takdir.

Doaku bukan hanya tentang mimpi yang tersisa

namun juga rindu

agar ia segera menemukan akhir dari sebuah jarak.

Jarak pun mengajarkan kita

bagaimana caranya memelihara rindu dengan tabah,

meski air mata kerap bicara perihal sesaknya.

Bontang-Sangata

Tulisan ini di tulis dengan jarak yang hanya sebatas layar handphone kita 🙂

2 comments
  1. Novi Monit Toriana said:

    Masya Allah, salam kenal ukhti. Barakallahu laka wa baraka alaik’, wa jama’a bainakuma fi khair…..selamat ya buat ulik dan aqida. Maaf baru tau kabar bahagia ini. Merinding, ikut mbrebes bacanya ga tau knapa. Ikut senang semoga berbahagia selalu. 😊

    • Wa fiik barakallah mba novi, terima kasih banyak atas doanya 🙂 semoga Mba Novi dan keluarga juga selalau diberikan Allah kebahagiaan di dunia maupun di akhirat ya. Allahumma aamiin 🙂

Tinggalkan komentar